A. PENDAHULUAN
Pada era modern ini, kajian ilmiah tentang masyarakat dan
kebudayaan semakin penting karena perubahan sosial, globalisasi, dan pluralitas
budaya menuntut pemahaman teoretis yang kokoh. Disiplin Sosiologi dan
Antropologi berperan sentral dalam menyediakan landasan teoritis untuk memahami
fenomena‐fenomena sosial yang kompleks: misalnya bagaimana individu dan
kelompok berinteraksi dalam sistem sosial, bagaimana budaya terbentuk dan
berubah, serta bagaimana struktur sosial dan budaya memengaruhi tindakan manusia.
Sebagai mata kuliah yang bertujuan memperkuat kemampuan menghasilkan karya
tulis ilmiah, pemahaman terhadap teori dalam kedua bidang ini menjadi fondasi
penting agar peneliti pemula dapat mendesain, menganalisis, dan menafsirkan
data dengan kerangka berpikir yang sistematis.
Sosiologi dan antropologi walaupun berbeda fokus, memiliki
persinggungan yang signifikan. Sosiologi biasanya memfokuskan pada
struktur‐struktur sosial, institusi dan hubungan antarindividu dalam masyarakat
modern, sementara antropologi lebih banyak mengeksplorasi budaya, evolusi
manusia, dan masyarakat tradisional atau lintas budaya
Penggabungan perspektif
keduanya memungkinkan peneliti untuk melihat fenomena sosial dan kultural
secara terpadu—misalnya bagaimana budaya lokal mempengaruhi struktur sosial dan
sebaliknya. Dengan demikian, bab ini akan membahas secara sistematis
teori‐teori utama dari kedua bidang—baik yang bersifat klasik maupun yang lebih
kontemporer—agar mahasiswa dapat memahami kerangka konseptual yang dapat
digunakan dalam karya tulis ilmiah sosiologis ataupun antropologis.
Dalam penyajian, bab ini akan dimulai dengan pengenalan pendek
terhadap pengertian teori dalam konteks sosiologi dan antropologi, lalu
dilanjutkan dengan pembahasan teori‐teori besar dalam sosiologi (seperti
fungsionalisme, konflik, interaksionisme simbolik) dan teori‐teori penting
dalam antropologi (seperti evolusionisme budaya, fungsionalisme budaya,
strukturalisme). Setelah itu akan dibahas juga pendekatan‐teori kontemporer
yang menggabungkan dinamika global, perubahan kebudayaan, dan perspektif kritis
(misalnya teori feminis, teori pascamodern, ekologi budaya). Dengan memahami
kerangka teoritis tersebut, mahasiswa akan lebih siap dalam merancang masalah
penelitian, memilih metode, serta menganalisis temuan secara kritis.
Akhirnya, bab ini menekankan pentingnya pemilihan teori yang tepat
dalam karya tulis ilmiah. Teori bukan hanya “alat” tetapi juga lensa yang
membentuk bagaimana kita melihat data, mengajukan pertanyaan penelitian, dan
memberikan interpretasi. Dengan menguasai teori‐teori dalam sosiologi dan
antropologi, mahasiswa akan mampu menampilkan argumentasi yang lebih kuat,
membuat konstruk konseptual yang jelas, dan menghasilkan karya tulis ilmiah
yang berbobot serta relevan dengan konteks sosial dan budaya yang sedang
diteliti.
B. PENGERTIAN TEORI
Teori merupakan komponen fundamental dalam ilmu sosial, termasuk
dalam bidang sosiologi dan antropologi. Secara umum, sebuah teori dapat
didefinisikan sebagai “a logically interrelated set of propositions about
empirical reality” (Schutt, dalam Piliavin & Piliavin, 2006) yang
memungkinkan peneliti untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena sosial. Dalam
konteks kajian sosiologis dan antropologis, teori bukan sekadar kumpulan fakta
atau data, melainkan kerangka konseptual yang memberi makna pada fakta-fakta
tersebut.
Lebih spesifik, teori dalam ilmu sosial dapat dipahami sebagai
suatu rangkaian konstruk, definisi, dan proposisi yang saling terkait, yang
secara sistematis menjelaskan bagaimana dan mengapa fenomena sosial tertentu
muncul, serta kondisi-batasnya (boundary conditions) yang memungkinkan prediksi
atau interpretasi. Misalnya, sebuah teori sosiologis dapat menjelaskan mengapa
mobilitas sosial terjadi di suatu masyarakat, atau mengapa suatu kelompok
mengalami marginalisasi, dengan menunjukkan mekanisme sosial yang mendasarinya.Dalam
kerangka kajian sosiologi dan antropologi, penting untuk membedakan teori dari
konsep, paradigma, atau model. Paradigma merupakan kerangka pandang
(world-view) yang lebih luas dan menjadi pijakan filosofis dalam membangun
teori, sedangkan model sering kali merupakan representasi yang lebih sederhana
atau spesifik dari teori. Dengan demikian, teori berada di antara paradigmatik
dan empiris: ia memandu penelitian empiris sekaligus dibangun dari observasi
fakta.
Selain itu, teori juga memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya
dari sekadar narasi atau opini. Sebagai “explanatory device”, teori
mengeksplorasi hubungan antar-variabel atau konstruk sosial, menetapkan asumsi
dasar, dan memungkinkan pengujian empiris dalam batas-batas tertentu (e.g.,
makro vs mikro). Jadi, teori dalam konteks sosiologi dan antropologi tidak
hanya sekadar menggambarkan realitas sosial, tetapi juga berusaha menjelaskan
mengapa dan bagaimana realitas tersebut terbentuk dan berubah.
Pada ranah antropologi dan sosiologi, peranan teori sangat sentral
karena disiplin-disiplin ini mencari pemahaman atas dinamika sosial dan budaya
manusia yang kompleks, lintas waktu dan tempat. Sebagai contoh, artikel “An
Overview of the Anthropological Theories” menegaskan bahwa “facts come to mean
something only as ascertained and organized in the frame of a theory.” Dengan
demikian, teori-teori dalam antropologi dan sosiologi bukanlah opsional,
melainkan “lifeblood” bagi disiplin-ilmu tersebut.
Lebih lanjut, dalam konteks penelitian karya tulis ilmiah untuk
mata kuliah ini, pemahaman yang matang terhadap pengertian teori memfasilitasi
mahasiswa dalam merumuskan kerangka konseptual penelitian, memilih teori yang
relevan, dan menautkan temuan empiris dengan landasan teoritis yang kuat. Tanpa
teori yang tepat, hasil penelitian cenderung bersifat deskriptif tanpa mampu
menjelaskan “mengapa” atau “bagaimana”. Dengan demikian, teori menjadi alat
intelektual untuk memperkuat argumentasi dan daya analisis dalam tulisan
ilmiah.
Dalam konteks sosiologi, teori mengarahkan perhatian pada struktur
sosial, institusi, relasi antar-individu, serta perubahan sosial. Contoh
definisi: “Sociology is the study of social life and the social causes and
consequences of human behaviour” (Gustavus Adolphus College). Di sisi lain,
antropologi memiliki sudut pandang yang lebih luas terhadap manusia, termasuk
budaya, evolusi, dan masyarakat lintas waktu dan ruang. Karena itu, teori dalam
kedua bidang tersebut harus mampu mengakomodasi aspek struktural, kultural,
historis, dan lintas budaya.
Salah satu aspek penting dalam pengertian teori adalah bahwa teori
menyediakan generalisasi yang melebihi kasus tunggal tetapi tetap memiliki
batasan (scope conditions). Sebagaimana disebutkan, teori sosial bertujuan
untuk “understand events, behaviours and/or situations” dan tidak sebatas
menggambarkan. Oleh karena itu, mahasiswa harus memahami bahwa teori bukanlah
hukum alam atau penjelasan mutlak, melainkan kerangka kerja yang dapat diuji,
dikritisi, dan dikembangkan sesuai perkembangan penelitian dan temuan baru.
Selanjutnya, teori juga membantu dalam mengintegrasikan data-dan
fakta yang terpisah menjadi suatu pemahaman yang utuh. Hal ini terlihat dalam
bagaimana antropologi dan sosiologi mengembangkan teori sebagai kerangka
referensi agar fenomena-fenomena sosial tidak hanya diamati secara
fragmentaris, tetapi dapat dihubungkan dalam pola yang lebih besar.Dengan
demikian, peran teori menjadi jembatan antara data empiris dan interpretasi
konseptual, yang menjadikan karya tulis ilmiah tidak sekadar laporan data,
tetapi analisis berbasis kerangka yang kokoh.
Terakhir, teori dalam sosiologi dan antropologi juga bersifat
dinamis — ia berkembang seiring dengan perubahan sosial, perkembangan
metodologi, dan interaksi lintas disiplin. Pemikiran teoritis tidak berhenti
pada pemikiran klasik, melainkan terus menerus diperbarui, dikritisi, dan
direvisi. Sebagaimana dikatakan, teori sosial adalah “academic field that
encompasses various models and frameworks for understanding social phenomena
and events.”Dengan demikian, dalam mata kuliah karya tulis ilmiah ini,
mahasiswa dianjurkan untuk tidak hanya memahami teori-teori yang sudah ada,
tetapi juga berpikir kritis terhadap relevansi dan batasan teori tersebut dalam
penelitian yang dipilih.
C. STRUKTURAL FUNGSIONAL (TALCOTT PARSONS,
DURKHEIM)
Teori struktural-fungsional memandang masyarakat sebagai suatu
sistem yang terdiri dari bagian-bagian (struktur) yang saling terkait dan
bersama‐sama menjalankan fungsi tertentu (fungsional) demi terpeliharanya
stabilitas, integrasi, dan kelangsungan sistem tersebut. Menurut Durkheim,
masyarakat bukan sekadar kumpulan individu, melainkan suatu “organisme sosial”
di mana norma, nilai, dan institusi bekerja untuk mempertahankan solidaritas
dan keteraturan sosial. Parsons kemudian mengembangkan pemikiran ini dengan
lebih sistematis, menjelaskan bagaimana struktur sosial memenuhi “prasyarat
fungsional” (functional prerequisites) agar sistem sosial dapat bertahan dan
berkembang.
Durkheim menekankan bahwa institusi‐institusi sosial seperti
keluarga, pendidikan, agama, dan hukum mempunyai fungsi yang penting dalam
menjaga “kesadaran kolektif” (collective conscience) serta mengelola pembagian
kerja sosial (division of labour) sehingga muncul solidaritas, baik mekanik
maupun organik. Solidaritas mekanik muncul dalam masyarakat sederhana yang
relatif homogen, sementara solidaritas organik muncul dalam masyarakat kompleks
yang spesialisasi tugasnya tinggi dan saling ketergantungan antartugas. Dalam
perspektif ini, keberadaan institusi sosial yang baik adalah kunci untuk
menghindari kondisi “anomie” atau keterputusan norma yang dapat mengancam
keteraturan sosial.
Parsons mengambil warisan Durkheim tersebut dan merumuskan kerangka
yang lebih luas dalam karya‐kuncinya seperti The Social System. Ia
mengenalkan paradigma AGIL—Adaptation, Goal attainment, Integration,
Latency—sebagai empat fungsi mendasar yang harus dipenuhi oleh setiap sistem
sosial agar tetap hidup dan stabil. Misalnya, fungsi Adaptasi berkenaan dengan
bagaimana sistem sosial menyesuaikan diri dengan lingkungan, Goal Attainment
dengan penetapan dan pencapaian tujuan kolektif, Integration dengan koordinasi
dan kohesi bagian-bagian sistem, serta Latency dengan pemeliharaan dan
transmisi nilai budaya serta motivasi individu untuk menjalankan peran sosial.
Pendekatan Parsons menekankan bahwa struktur sosial bukan sekadar latar
belakang, melainkan elemen aktif yang menjalankan fungsi dalam sistem yang
lebih besar.
Dalam kajian karya tulis ilmiah, penggunaan teori
struktural-fungsional memfasilitasi mahasiswa memahami bagaimana institusi dan
struktur sosial dapat dianalisis berdasarkan kontribusinya terhadap kestabilan
sistem sosial. Misalnya, ketika meneliti institusi pendidikan atau organisasi
masyarakat, mahasiswa dapat menggunakan kerangka Parsons untuk mengidentifikasi
fungsi institusi tersebut (seperti sosialisasi, integrasi nilai, atau
pemeliharaan budaya) dan melihat bagaimana struktur institusional tersebut berkontribusi
terhadap sistem sosial yang lebih besar. Demikian pula, pendekatan Durkheim
membantu mahasiswa menyoroti bagaimana norma bersama dan pembagian kerja sosial
memengaruhi kohesi dan perubahan sosial. Namun, penting juga diingat bahwa
teori ini memiliki keterbatasan, seperti kecenderungan mengabaikan konflik
sosial, ketimpangan kekuasaan, dan dinamika perubahan yang cepat dalam
masyarakat kontemporer.
Aplikasi praktis teori ini dalam penelitian dapat meliputi
perumusan kerangka konseptual, pemilihan variabel atau konstruk sosial yang
relevan, dan penafsiran temuan dalam konteks fungsi sosial. Misalnya,
penelitian tentang maraknya fenomena utang dan aktivitas perjudian (yang
menjadi perhatian Anda) dapat dianalisis dengan melihat institusi keluarga atau
komunitas sebagai struktur yang fungsi sosialnya terganggu (misalnya fungsi
kontrol sosial atau integrasi komunitas). Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya
mendeskripsikan fenomena tetapi juga menjelaskan “mengapa” dan “bagaimana”
fenomena tersebut berdampak terhadap keseluruhan sistem sosial. Pendekatan ini
menunjukkan bahwa teori struktural-fungsional tetap relevan sebagai landasan
konseptual dalam banyak penelitian sosiologi dan antropologi, terutama yang
memfokuskan pada stabilitas, integrasi, dan fungsi institusi.
D. TEORI KONFLIK STRUKTURAL (KARL MARX)
Teori konflik struktural merupakan salah
satu teori klasik dalam sosiologi yang menjelaskan dinamika sosial melalui
pertentangan kepentingan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Teori ini
pertama kali dikembangkan oleh Karl Marx (1818–1883), yang melihat bahwa
struktur sosial masyarakat kapitalis ditandai oleh ketimpangan ekonomi dan
distribusi kekuasaan yang tidak merata. Bagi Marx, sejarah manusia adalah
sejarah perjuangan kelas (the history of all hitherto existing society is the
history of class struggles)—antara kelas yang menguasai alat produksi (borjuis)
dan kelas pekerja (proletar). Dalam pandangan ini, konflik bukanlah
penyimpangan, melainkan aspek mendasar dari kehidupan sosial yang mendorong
perubahan dan perkembangan masyarakat (Ritzer & Stepnisky, 2017).
Marx berpendapat bahwa struktur sosial
dibangun atas dasar hubungan produksi, yaitu cara manusia mengorganisasikan
kerja dan sumber daya. Hubungan ini membentuk basis ekonomi (infrastruktur)
yang kemudian menentukan suprastruktur—termasuk politik, hukum, agama,
pendidikan, dan nilai-nilai budaya (Marx & Engels, 1848/2010). Dalam
kerangka ini, ide-ide dominan di masyarakat sesungguhnya merupakan refleksi
dari kepentingan kelas yang berkuasa. Dengan demikian, teori konflik struktural
menyoroti bagaimana ideologi dan institusi sosial dapat digunakan untuk
mempertahankan dominasi kelas, sementara kelompok tertindas didorong untuk
menerima kondisi tersebut sebagai sesuatu yang wajar atau alamiah (Marx,
1867/1976).
Lebih jauh, Marx menilai bahwa konflik
kelas merupakan motor perubahan sosial. Ketika kontradiksi antara kekuatan
produksi (teknologi, tenaga kerja) dan hubungan produksi (struktur kepemilikan)
mencapai titik tertentu, maka sistem sosial lama akan runtuh dan digantikan
oleh sistem baru. Proses ini dikenal sebagai dialektika materialisme historis,
yaitu pandangan bahwa perubahan sosial terjadi melalui benturan kepentingan
material antar kelas (Elster, 1986). Dengan demikian, teori konflik struktural
memberikan dasar konseptual bagi analisis mengenai ketimpangan ekonomi,
eksploitasi tenaga kerja, dan munculnya gerakan sosial yang menuntut keadilan.
Dalam konteks kajian sosiologi dan
antropologi, teori konflik struktural tidak hanya relevan untuk menganalisis
hubungan kelas dalam industri, tetapi juga dalam konteks budaya dan komunitas.
Antropolog kritis seperti Eric Wolf (1982) dan Immanuel Wallerstein (1974)
memperluas gagasan Marx ke dalam teori sistem dunia (world-systems theory),
menjelaskan bagaimana ketimpangan global antara negara pusat dan pinggiran
mencerminkan struktur konflik kapitalisme internasional. Hal ini menunjukkan
bahwa teori konflik tidak terbatas pada ranah ekonomi, tetapi juga mencakup
dinamika politik, budaya, dan kekuasaan dalam berbagai level masyarakat.
Dalam penulisan karya tulis ilmiah, teori
konflik struktural dapat digunakan sebagai landasan teoritis untuk menganalisis
fenomena sosial yang melibatkan ketimpangan, dominasi, dan perjuangan sumber
daya—misalnya ketidakadilan ekonomi, eksploitasi buruh, ketimpangan gender,
atau marginalisasi kelompok sosial tertentu. Pendekatan ini membantu mahasiswa
untuk menulis dengan perspektif kritis, tidak hanya mendeskripsikan gejala
sosial, tetapi juga menyingkap struktur kekuasaan di baliknya. Dengan memahami teori
konflik struktural, penulis karya ilmiah dapat menelaah bagaimana ketimpangan
dan perbedaan kepentingan membentuk interaksi sosial serta memicu perubahan
sosial yang lebih luas.
E. TEORI
INTERAKSIONISME SIMBOLIK (HERBERT BLUMER, MEAD)
Teori
interaksionisme simbolik merupakan salah satu pendekatan utama dalam sosiologi
yang menekankan pentingnya simbol dan makna dalam proses interaksi sosial.
Konsep ini berakar dari pemikiran George Herbert Mead yang melihat bahwa
tindakan manusia tidak hanya merupakan respons terhadap stimulus, tetapi juga
hasil dari proses interpretasi terhadap makna yang melekat pada tindakan
tersebut. Menurut Mead, manusia berinteraksi dengan orang lain berdasarkan
makna yang mereka berikan pada simbol-simbol sosial seperti bahasa, isyarat,
dan perilaku (Mead, 1934). Makna ini tidak bersifat tetap, tetapi dibentuk dan
diubah melalui proses interaksi sosial yang terus menerus.
Herbert Blumer, sebagai murid dan penerus pemikiran Mead, kemudian
merumuskan tiga premis utama interaksionisme simbolik. Pertama, manusia
bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimiliki sesuatu itu bagi
mereka. Kedua, makna tersebut muncul dari hasil interaksi sosial antara
individu. Ketiga, makna tersebut dimodifikasi melalui proses interpretasi yang
dilakukan oleh individu ketika berhadapan dengan situasi yang dihadapi (Blumer,
1969). Dengan demikian, teori ini menekankan bahwa perilaku manusia tidak dapat
dipahami hanya melalui faktor eksternal atau struktur sosial, tetapi harus
dipahami melalui pemaknaan subyektif yang terbentuk dalam interaksi sosial.
Dalam konteks kajian sosiologi dan antropologi, teori
interaksionisme simbolik berperan penting untuk memahami bagaimana makna sosial
terbentuk dan dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini sering
digunakan dalam penelitian kualitatif, terutama melalui metode observasi
partisipatif dan wawancara mendalam, karena memungkinkan peneliti memahami
pengalaman sosial dari perspektif pelaku. Misalnya, dalam konteks pendidikan,
peneliti dapat menggunakan teori ini untuk meneliti bagaimana simbol-simbol
seperti nilai, aturan, atau bahasa membentuk interaksi antara guru dan siswa.
Melalui pemahaman terhadap simbol dan makna yang hidup dalam masyarakat,
peneliti dapat mengungkap dinamika sosial yang lebih mendalam daripada sekadar
melihat struktur sosial di permukaan (Charon, 2010).
F. Teori pertukaran sosial (George Homans)
Teori pertukaran sosial merupakan salah satu teori penting dalam
sosiologi yang berusaha menjelaskan perilaku sosial manusia melalui
prinsip-prinsip dasar pertukaran yang bersifat timbal balik. George C. Homans
(1958) mengembangkan teori ini dengan menggabungkan pandangan sosiologi dan
psikologi behavioristik. Ia berpendapat bahwa setiap interaksi sosial pada
dasarnya melibatkan proses pertukaran imbalan (rewards) dan biaya (costs)
di antara individu. Dalam hubungan sosial, seseorang cenderung mempertahankan
interaksi yang memberikan keuntungan atau kepuasan, dan menghindari hubungan
yang dirasa merugikan. Pandangan ini menempatkan manusia sebagai makhluk
rasional yang berperilaku untuk memaksimalkan keuntungan sosial dan
meminimalkan kerugian.
Homans menjelaskan bahwa hubungan sosial dapat dipahami melalui
prinsip dasar perilaku, seperti stimulus, value, deprivation-satiation,
aggression-approval, dan rationality (Homans, 1961). Melalui
prinsip-prinsip ini, ia menggambarkan bahwa interaksi sosial bersifat dinamis
karena individu selalu menilai pengalaman sosial berdasarkan hasil yang
diperoleh sebelumnya. Misalnya, jika suatu tindakan menghasilkan imbalan positif,
individu cenderung mengulanginya; sebaliknya, jika menghasilkan hukuman atau
ketidaknyamanan, tindakan tersebut akan dihindari. Dengan demikian, hubungan
sosial dipahami sebagai hasil dari serangkaian keputusan rasional berdasarkan
evaluasi terhadap imbalan dan biaya yang diterima individu dalam proses sosial.
Dalam konteks kajian sosiologi dan antropologi, teori pertukaran
sosial memberikan kerangka penting untuk memahami motif di balik hubungan
sosial, struktur kekuasaan, serta norma timbal balik dalam masyarakat. Teori
ini banyak diaplikasikan dalam analisis hubungan interpersonal, organisasi,
hingga masyarakat modern yang kompleks. Dalam penelitian ilmiah, khususnya yang
menggunakan pendekatan kualitatif, teori ini membantu peneliti menjelaskan
bagaimana individu menegosiasikan nilai, sumber daya, dan dukungan sosial untuk
mencapai keseimbangan dalam interaksi sosialnya (Blau, 1964). Dengan demikian,
teori pertukaran sosial tidak hanya menjelaskan perilaku individual, tetapi
juga membantu memahami pola-pola sosial yang lebih luas dalam kehidupan
bermasyarakat.
G. RELEVANSI TEORI-TEORI TERSEBUT TERHADAP
DUNIA PENDIDIKAN
Kajian
teori-teori sosiologi dan antropologi memberikan kontribusi besar terhadap
pengembangan ilmu pendidikan, khususnya dalam memahami dinamika sosial yang
terjadi di lingkungan sekolah. Melalui teori struktural fungsional, misalnya,
pendidikan dipahami sebagai salah satu lembaga sosial yang berfungsi menjaga
keseimbangan dan stabilitas masyarakat. Sekolah tidak hanya berperan
mentransfer pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai, norma, dan peran sosial
yang diperlukan untuk mempertahankan tatanan sosial (Parsons, 1951). Dari
perspektif ini, guru dan siswa merupakan bagian dari sistem sosial yang saling
bergantung; setiap individu menjalankan fungsi tertentu untuk mencapai tujuan
bersama. Dengan memahami pendidikan melalui kerangka struktural fungsional,
pendidik dapat melihat sekolah sebagai miniatur masyarakat yang berperan
penting dalam pembentukan karakter dan moral generasi muda.
Sementara itu,
teori konflik yang dipelopori Karl Marx memberikan pandangan kritis terhadap
sistem pendidikan. Teori ini menyoroti bagaimana pendidikan dapat mereproduksi
ketimpangan sosial melalui mekanisme seleksi, kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum), dan distribusi sumber daya yang tidak merata (Bowles &
Gintis, 1976). Dalam konteks ini, pendidikan bukan sekadar alat mobilitas
sosial, tetapi juga dapat menjadi arena pertarungan ideologi dan kekuasaan.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap teori konflik membantu para pendidik dan
peneliti untuk lebih peka terhadap ketidakadilan struktural yang mungkin muncul
dalam praktik pendidikan, sehingga dapat mendorong lahirnya kebijakan dan
pendekatan pembelajaran yang lebih inklusif dan berkeadilan sosial.
Selain itu,
teori interaksionisme simbolik dan teori pertukaran sosial turut memberikan
perspektif penting terhadap proses belajar mengajar di ruang kelas.
Interaksionisme simbolik menekankan pentingnya komunikasi, simbol, dan makna
yang dibentuk dalam interaksi guru-siswa (Blumer, 1969). Guru dapat memahami
bagaimana persepsi dan simbol tertentu memengaruhi motivasi belajar siswa. Di
sisi lain, teori pertukaran sosial (Homans, 1961) membantu menjelaskan hubungan
timbal balik antara guru dan siswa berdasarkan penghargaan sosial, pengakuan,
serta motivasi yang diperoleh dari interaksi pendidikan. Dengan memahami
relevansi teori-teori tersebut, para pendidik dapat merancang strategi
pembelajaran yang tidak hanya efektif secara akademik, tetapi juga bermakna secara
sosial dan kultural.
H. RANGKUMAN MATERI
Teori-teori sosiologi dan antropologi memberikan dasar penting
dalam memahami berbagai fenomena sosial yang berkaitan dengan pendidikan dan
kehidupan masyarakat. Teori struktural fungsional yang dikembangkan oleh tokoh
seperti Emile Durkheim dan Talcott Parsons menekankan bahwa setiap bagian
masyarakat, termasuk lembaga pendidikan, memiliki fungsi tertentu untuk menjaga
keseimbangan sosial. Sekolah dilihat sebagai lembaga yang berperan dalam
sosialisasi nilai, norma, dan keterampilan yang dibutuhkan agar individu dapat
berperan dengan baik dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan berfungsi
tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menjaga keberlangsungan
sistem sosial.
Berbeda dengan pendekatan fungsional, teori konflik yang digagas
oleh Karl Marx menyoroti sisi kritis dari sistem sosial dan pendidikan. Teori
ini memandang bahwa pendidikan dapat menjadi alat reproduksi ketimpangan
sosial, di mana struktur kekuasaan dan ekonomi yang dominan menciptakan
perbedaan kesempatan bagi kelompok masyarakat. Dalam konteks ini, pendidikan
sering kali mencerminkan dan memperkuat ideologi kelas sosial tertentu. Oleh
karena itu, teori konflik mendorong perlunya perubahan sosial melalui kebijakan
pendidikan yang lebih adil, inklusif, dan berpihak pada kelompok yang
terpinggirkan.
Sementara itu, teori interaksionisme simbolik dan teori pertukaran
sosial lebih menyoroti proses sosial dalam skala mikro. Interaksionisme
simbolik (Mead & Blumer) menekankan pentingnya simbol, makna, dan
komunikasi dalam membentuk perilaku sosial, termasuk dalam proses belajar
mengajar di kelas. Teori pertukaran sosial (Homans & Blau) menjelaskan
bahwa hubungan sosial terbentuk melalui prinsip timbal balik antara imbalan dan
biaya dalam interaksi manusia. Jika dikaitkan dengan pendidikan, teori-teori
ini membantu memahami bagaimana hubungan antara guru dan siswa terbentuk
melalui makna sosial, penghargaan, dan pengalaman bersama. Dengan memahami
semua teori tersebut, pendidik dapat melihat dunia pendidikan tidak hanya
sebagai proses akademik, tetapi juga sebagai arena sosial yang kompleks dan
penuh dinamika.
1.
TUGAS DAN EVALUASI
1.
Jelaskan secara singkat apa yang
dimaksud dengan teori struktural fungsional dan bagaimana teori ini memandang
peran lembaga pendidikan dalam masyarakat.
2.
Menurut teori konflik Karl Marx,
bagaimana sistem pendidikan dapat mereproduksi ketimpangan sosial?
3.
Apa perbedaan utama antara teori
interaksionisme simbolik dan teori pertukaran sosial dalam memahami hubungan
sosial di lingkungan pendidikan?
4.
Mengapa pemahaman terhadap
teori-teori sosiologi dan antropologi penting bagi seorang calon pendidik atau
peneliti karya tulis ilmiah?
5.
Berikan satu contoh konkret
bagaimana teori sosial dapat digunakan sebagai kerangka analisis dalam
penelitian karya tulis ilmiah di bidang pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Blau, P. M. (1964). Exchange and
Power in Social Life. New York, NY: John Wiley & Sons.
Blumer, H. (1969). Symbolic
Interactionism: Perspective and Method. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall.
Bowles, S., & Gintis, H. (1976).
Schooling in Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions
of Economic Life. New York, NY: Basic Books.
Charon, J. M. (2010). Symbolic
Interactionism: An Introduction, An Interpretation, An Integration (10th
ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Durkheim, É. (1893/2008). The
Division of Labour in Society (W. D. Halls, Trans.). New York, NY: Free
Press.
Elster, J. (1986). An
Introduction to Karl Marx. Cambridge: Cambridge University Press.
Gustavus Adolphus College. (n.d.). What
is Sociology? What is Anthropology? Retrieved from https://gustavus.edu/academics/departments/sociology-and-anthropology/sociologyandanthropology.php
Homans, G. C. (1958). Social
Behavior as Exchange. American Journal of Sociology, 63(6), 597–606. https://doi.org/10.1086/222355
Homans, G. C. (1961). Social
Behavior: Its Elementary Forms. New York, NY: Harcourt, Brace & World.
Marx, K. (1867/1976). Capital: A
Critique of Political Economy, Vol. 1 (B. Fowkes, Trans.). London: Penguin
Books.
Marx, K., & Engels, F.
(1848/2010). The Communist Manifesto. London: Verso.
Mead, G. H. (1934). Mind, Self,
and Society: From the Standpoint of a Social Behaviorist. Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Mohamad Diah, N., Hossain, D. M.,
Mustari, S., & Ramli, N. S. (2014). An Overview of the Anthropological
Theories. International Journal of Humanities and Social Science, 4(10[1]),
155–163.
OpenStax. (2021). Introduction to
Sociology – Theoretical Perspectives on Society (3rd ed.). Houston, TX:
OpenStax. https://openstax.org/books/introduction-sociology-3e/pages/1-3-theoretical-perspectives
Parsons, T. (1937). The Structure
of Social Action. Glencoe, IL: Free Press.
Parsons, T. (1951). The Social
System. Glencoe, IL: Free Press.
Piliavin, A., & Piliavin, J.
(2006). Theory in Social Science [White paper]. University of Wisconsin,
Social Science Computing Cooperative.
Ritzer, G., & Stepnisky, J.
(2017). Sociological Theory (10th ed.). New York, NY: McGraw-Hill
Education.
Rothschild, T. (n.d.). Theoretical
Perspectives on Society. In Rothschild’s Introduction to Sociology (Ch.
1.3). Retrieved from https://openstax.org/books/introduction-sociology-3e/pages/1-3-theoretical-perspectives
Schutt, R. K. (2015). Investigating
the Social World: The Process and Practice of Research (8th ed.). Thousand
Oaks, CA: Sage Publications.
SimplyPsychology. (2025). Émile
Durkheim’s Theories. Retrieved from https://www.simplypsychology.org/emile-durkheim-theories.html
“Social Science Theory – An
Overview.” (n.d.). In ScienceDirect Topics. Elsevier. Retrieved from https://www.sciencedirect.com/topics/social-sciences/social-science-theory
“Social Theory.” (2023). Research
Starters – Social Sciences & Humanities. EBSCO.
“Structural Functionalism.” (2024).
In Research Starters – Social Sciences & Humanities. EBSCO.
Retrieved from https://www.ebsco.com/research-starters/social-sciences-and-humanities/structural-functionalism
Turner, S. (2010). So, What is
Theory? Educational Researcher, 39(5), 397–406.
https://doi.org/10.3102/0013189X10376502
Wallerstein, I. (1974). The
Modern World-System I: Capitalist Agriculture and the Origins of the European
World-Economy in the Sixteenth Century. New York, NY: Academic Press.
Wolf, E. R. (1982). Europe and
the People Without History. Berkeley, CA: University of California Press.
“2.1: What is a Theory?” (2022, July
19). In Race and Ethnic Relations in the U.S.: An Intersectional Approach.
LibreTexts. Retrieved from https://socialsci.libretexts.org
PROFIL PENULIS

